[Blood Moon; Imajinasi Menatap Dinding Buku]
Meskipun ia adalah golongan kaum rebahan yang malas kemana-mana, hanya sibuk dengan smartphone di tangannya, sekali dua kali ia mendengarkan lagu lewat headset miliknya, tentu lagu favorit yg agak kekinian, walaupun ada juga genre jazz yg disukainya. Tapi ia dalam satu waktu bisa menghabiskan bacaan bukunya hingga berjam-jam lamanya, penuh dengan penghayatan, kadang di ulang-ulang pada halaman yg menurutnya ada kekuatan/pesan moral yg ia dapati. Karena ia punya kebiasaan membaca dengan target 20/30 halaman per/waktunya.
Buku yg ia baca pun terkesan membingungkan, ragam jenis dan juntrungnya, kadang bacaan berat kaya sapiens, filsafat, madilog, ghandi, aristoteles, hingga hermeneutik al-Qur’an. Tapi, ia selalu dapati kalau bacaan tentang sastra lebih kompatible, tidak rumit dan memberatkan otak, yg lebih penting menurutnya adalah jiwanya bisa merasakan kebahagiaan, ia selalu menganggap para sastrawan itu kritikus tingkat dewa, karena simiotik bahasanya kelihatan lapang dan polos, padahal itu cara mereka mengkontemplasikan diri, inilah kenapa ia mengagumi sastra, karena ia memahami ada pekerjaan ganda yg jalan secara bersamaan, antara akal dan nurani, seperti visual diri dan bayangan, ucapnya.
Entahlah, itu fiksi atau non-fiksi, yg jelas ia sedang berupaya membentuk sebuah cerita kehidupan. Novel ? 🤔 terdengar keren sih, tapi ia tidak selugas Supardi saat menyusun kalimat Bulan Juni yg kedatangan Hujan, atau semisterius Oda sensei yg merahasiakan pertempuran onigashima.
[Imajiner] ✍🏻💆🏻♂️
#Fikram Arifbillah.
Komentar
Posting Komentar