T A N A H
Bismillahirrahmanirrahim..
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh..
Penulis ✍️
فيكرام فهرومانسياه
#Belajar dari Tanah
”Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah.'' (QS.22:5)
Dalam Kitab Suci Al-Qur’an, ungkapan mengenai tanah banyak ditemukan dalam berbagai bentuk kata dan makna. Tanah disebut dengan turab (3:59), ath-thiin (7:12), dan al-Ardh (11:61).
Kemudian, arti tanah pun meluas sesuai konteksnya. Misalnya, shalshaalin yakni tanah liat kering berkaitan dengan penciptaan manusia (15:33). Sha’idan juruza yakni tanah tandus sebagai ujian terhadap manusia (18:8). Sha’idan zalaqon yakni tanah yang licin karena basah disirami hujan (18:40).
Juga sha’idan thayyiba yakni tanah yang suci untuk bertayammum (4:43). Ada pula tanah suci yang dihormati di muka bumi yang disebut haraman aaminan (28:57, 29:67), termasuk kesucian Palestina yang disebut al-ardhal muqaddasah (5:21).
Tanah adalah asal manusia dan kelak akan menjadi tanah (20:55,30:20,15:28). Setelah manusia mati dan menjadi tulang belulang akan dibangkitkan kembali (23:82,37:16,53,27:67). Kelak orang kafir akan menyesal dan ingin menjadi tanah lagi (78:40).
Tanah seringkali dikaitkan dengan air hujan. Banyak ayat yang menjelaskan hujan yang membasahi bumi dan kebun-kebun (2:22,265,35:27).
Hujan turun ke bumi yang kering (mati), lalu Allah menyiraminya kemudian tumbuh rerumputan dan pepohonan. Hal ini diumpamakan kebangkitkan manusia di Hari Akhir (6:99,7:57,16:65,35:9).
Dalam Kitab Riyaadush-Shalihiin karya Imam Nawawi, diriwayatkan dari Abu Musa ra, Nabi SAW, bersabda : “Sesungguhnya perumpamaan hidayah dan ilmu yang diberikan Allah SWT kepadaku, seperti hujan yang membasahi permukaan bumi.'' (HR. Muttafaq alaih).
Dalam Hadits ini, ada tiga jenis tanah yaitu : Pertama ; Tanah Yang Subur. Kelompok ini disebut Nabi SAW. dengan naqiyyatun qobilatil maa-a fa anbatatil kala-a wal ’usybal katsiir (tanah subur yang bisa menyerap air sehingga menumbuhkan banyak tumbuhan dan rerumputan).
Ketika musim kemarau datang, lalu langit mendung dan hujan turun menyerap ke dalam tanah. Bibit tanaman tumbuh subur dan berbuah.
Tanah yang seperti ini ibarat orang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT yang senantiasa membuka hati dan pikiran untuk menerima ilmu dan hikmah.
Tiada henti menuntut ilmu (thalabul ’ilmi), mengajarkan dan mengamalkannya. Mereka selalu takut kepada Allah SWT, (58:11,39:9,35:28).
”Kelebihan orang ’alim (berilmu) terhadap ’aabid (ahli ibadah yang tak berilmu) seperti kelebihanku terhadap orang yang paling rendah diantara kalian. Allah, malaikat dan penghuni langit dan bumi, sampai-sampai semut di sarangnya dan ikan di lautan, senantiasa meminta rahmat kepada orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia”. (HR.Turmudzi).
Kedua ; Tanah yang Gersang. Kelompok yang kedua yaitu ajaadibu amsakatil maa-a fa nafa’allahu bihan- nasa fa syaribuu wa saqamuu wa zara’uu' (tanah yang gersang namun masih bisa menyimpan cadangan air untuk diminum, mengairi lahan pertanian dan bercocok tanam).
Nabi SAW. menyebut kelompok ini sebagai orang yang tidak bisa mengangkat kepalanya, yakni mengabaikan ilmu dan hidayah yang sudah diterimanya. Mereka adalah orang-orang yang berilmu pengetahuan tapi tidak mengajarkan dan mengamalkannya dengan baik.
Mereka tahu kebenaran dan kebaikan, namun hanya menyampaikan kepada orang lain. Mengajak orang berbuat baik tapi ia sendiri tidak melakukannya (2:44) dan berkata tapi tak berbuat (61:2-3).
Pepatah mengatakan, ilmu yang tidak diamalkan laksana pohon tak berbuah' (al-‘ilmu bilaa ‘amalin kasy-syajarin bilaa tsamarin).
Kelompok manusia seperti ini adalah orang fasik yakni berdosa besar. Hidayah dan ilmunya tidak bisa menerangi jalan hidupnya, meskipun bermanfaat bagi orang lain.
Ketiga ; Tanah yang Tandus. Kelompok ketiga yaitu qii’aanun laa tumsiku maa-an wa laa tunbitu kala-an (tanah tandus yang sama sekali tidak bisa menyimpan air dan menumbuhkan tanaman).
Tanah jenis ketiga diibaratkan orang yang tidak mau menerima hidayah Allah. Mereka tidak mau belajar dan menuntut ilmu, tidak mau meminta dan menerima nasehat apalagi memberi manfaat bagi orang lain.
Ibarat tanah, ia tandus dan berbatu tak bisa ditanami, tak mengandung air untuk dijadikan sumur. Ia hanya hamparan tanah kosong yang tandus dan tak disenangi manusia.
Lahirnya manusia hidup tapi seperti mayit berjalan, karena tidak memberi manfaat bagi orang lain, bahkan untuk dirinya sendiri. Kehadirannya hanya menjadi beban dan ganjala. Merekalah orang-orang kafir dan munafik (2:6-20,9:84).
Begitu indahnya Allah SWT dan Rasul-Nya memberi perumpamaan. Sungguh, nasehat tersebut sangat menyentuh dan menyentil kita.
Seakan Allah SWT dengan bijak dan santun mengingatkan agar kita menjadi kelompok yang pertama, yakni laksana tanah yang subur. Bukan kelompok kedua apalagi yang ketiga.
Kalaupun dalam hidup ini kita sering melakukan dosa, namun jika penyesalan masih muncul itu pertanda akan ada kesempatan melakukan kebaikan.
Nasehat Imam Ibn Athaillah patut menjadi motivasi. ”Ma’shiatun awrosat dzullan waftiqooron khairun min thaa’atin awrosat ’izzan wastikbaaron (kemaksiatan yang menimbulkan rasa hina dan penyesalan, lebih baik dari pada ketaatan yang melahirkan rasa bangga dan kesombongan).
#OPINI: Manusia Tanah
OPINI--- Proses menuntut ilmu sangat erat kaitannya dengan dakwah berkesinambungan. Proses yang berkesinambungan harus dimulai dengan niat yang betul dalam hati sehingga menghasilkan ucapan dan tindakan yang sesuai. Dalam melaksanakan dakwah yang berkesinambungan dibutuhkan pribadi berkarakter yang tidak hanya paham teks dan konteks keagamaan untuk dirinya, namun juga menjadi pencerah bagi orang lain di sekitarnya.
Seseorang yang hendak menjadi pencerah bagi orang lain hendaknya memiliki keutamaan sebagaimana yang disebutkan Nabi SAW dalam sabdanya mengenai karakter penerima ilmu. Hal itu karena sasaran ilmu adalah seluruh umat manusia yang pada hakikatnya memiliki sifat yang berbeda.
Hal tersebut dijelaskan oleh Nabi SAW dalam sabdanya :
عَنْ أَبِي مُوسَى عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَثَلُ مَا بَعَثَنِي اللهُ الْهُدَى وَالْعِلْمِ كَمَثَلِ الْغَيْثِ الْكَثِيرِ أَصَابَ أَرْضًا فَكَانَ مِنْهَا نَقِيَّةٌ قَبِلَتْ الْمَاءَ فَأَنْبَتَتْ الْكَلَةُ وَالْعُشْبَ الْكَثِيرَ وَكَانَتْ مِنْهَا أَحَادِبُ أَمْسَكَتْ الْمَاءَ فَنَفَعَ الله بِهَا النَّاسَ فَشَرِبُوا وَسَقَوْا وَزَرَعُوا وَأَصَابَتْ مِنْهَا طَائِفَةً أُخْرَى إِنَّمَا هِيَ قِيعَانٌ لَا تُمْسِكُ مَاءً وَلَا تُنْبِتُ كَلاً فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقُهَ فِي دِينِ اللَّهِ وَنَفَعَهُ مَا بَعَثَنِي الله بِهِ فَعَلِمَ وَعَلَّمَ وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعُ بِذَلِكَ رَأْسًا وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللَّهِ الَّذِي
أُرْسِلْتُ به (متفق عليه)
Dalam metafora yang indah ini, Rasulullah SAW mengibaratkan petunjuk dan hikmah yang dianugerahkan kepada umat manusia dengan air hujan yang menghidrasi bumi. Perumpamaan bumi dan manusia yang membutuhkan hidrasi. Air diperlukan bumi untuk menghasilkan tanah subur dan mendukung pertumbuhan tanaman hijau yang dapat dikonsumsi manusia. Demikian pula hati manusia yang memerlukan arahan dan kebijaksanaan untuk tumbuh produktif, itu juga perlu dipraktikkan dan diajarkan agar dapat memperoleh lebih banyak manfaat. Bimbingan diperlukan untuk mencapai ketenangan. Al-Qurthubiy menyatakan, bahwa Rasul SAW membuat perumpamaan agama yang dibawanya bagaikan hujan yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan. Demikian pula kondisi umat dalam menunggu kehadiran Rasul SAW. Sebagaimana hujan berperan untuk menghidupkan bumi yang mati, begitu pula ilmu dapat menghidupkan hati yang mati.
Pada hadis di atas dijelaskan secara gamblang mengenai tiga karakter manusia yang diumpamakan seperti ragam tanah ketika menerima siraman hujan dari langit, sebagai berikut:
فَكَانَ مِنْهَا نَقِيَّةٌ قَتَلَتْ الْمَاءِ فَأَنْبَتَتْ الْكَلَةُ وَالْعُشْبِ الْكَثِير
"Di antaranya ada bumi yang subur, ia dapat menerima air kemudian menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dan rumput yang lebat."
Daerah subur di bumi mampu menerima air yang cukup untuk menunjang pertumbuhan tanah yang pada gilirannya mendukung pertumbuhan tanaman dan rerumputan sehingga subur. Tumbuhan berkembang dan menghasilkan buah yang sangat bermanfaat bagi kebutuhan manusia. Hal ini setara dengan watak anak-anak tertentu yang mahir dalam menerima informasi dan menerapkannya dalam kehidupan mereka lalu dipraktikkan apa yang diketahuinya dan menyebarkannya kepada orang lain. Kata Rasulullah SAW:
فقه في دين اللهِ وَنَفَعَهُ مَا يَعْتَنِي اللهُ بِهِ فَعَلِمَ وَعَلَّمَ وذلك مثل من فقه
"Demikian itu perumpamaan orang yang mengkaji agama Allah dan bermanfaat apa yang aku diutus dengannya, ia mengetahui dan mengajarkan (kepada orang lain)."
Karakter pertama ini merupakan karakter yang paling baik dari tiga karakter yang disebutkan oleh Nabi SAW karena karakter itulah yang menjadi tujuan pendidikan, yakni membentuk siswa yang baik dengan ilmu yang bermanfaat untuk diamalkan lalu diajarkan. Betapa bergunanya tanah subur yang dapat menumbuhkan buah dan sayur yang mengandung vitamin serta sangat penting bagi kesehatan manusia. Alangkah bermanfaatnya menerapkan pengetahuan lalu diperuntukkan untuk mengajarkan orang lain sehingga dapat mencerahkan diri mereka sendiri dan komunitas di sekitar mereka. Orang yang pertama disebut Alim, yaitu orang yang menjalankan dan mengamalkan ilmunya sendiri dan mengajarkannya kepada orang lain.
Perumpamaan selanjutnya disebutkan:
أمسكت الماء فتقع اللهُ بِهَا النَّاسِ فَشَرِبُوا وَسَقَوْا وَزَرَعُوا وكلت منها أحادث
"Di antaranya ada bumi yang tandus (tanah berbatu cadas) yang menahan air, lalu dengannya Allah memberikan manfaat kepada manusia, sehingga mereka dapat minum, menyiram, dan bercocok tanam daripadanya."
Tanah yang tandus hanya mampu menadah air namun tidak dapat menyerapnya untuk bercocok tanam, sehingga ia hanya dapat memberi manfaat kepada manusia untuk minum, menyiram, dan bercocok tanam, namun ia tidak memberi manfaat bagi dirinya sendiri. Tanah jenis ini adalah perumpamaan mengenai hakikat anak didik yang pintar, cakap dan mahir, semua bacaan telah dibacanya dan semua ilmu telah diperoleh apa adanya. Ilmu itu tidak diamalkan untuk dirinya sendiri melainkan sebatas diajarkan dan disampaikan kepada orang lain. Sifat ini ibarat lilin yang menyala dan menerangi benda di sekitarnya namun membakar dirinya sendiri. Allah SWT memperingatkan mengenai sifat ini dalam QS. Ash-Shaff (61): 2-3, yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan."
Karakter yang kedua ini tidak cukup baik, karena sejatinya ilmu yang diperoleh seharusnya terlebih dahulu untuk kepentingan diri sendiri, lalu untuk keluarga kemudian untuk orang lain. Manusia dengan karakter ini sekadar menyampaikan berita, sekadar menceritakan, menyampaikan saja, dan sekadar memberitahu orang lain. Akan tetapi, karakter ini masih lebih utama dibandingkan karakter yang ketiga. Bentuk karakter anak didik ketiga diumpamakan seperti tanah licin mendatar yang tidak dapat menyerap dan tidak dapat menampung air. Rasulullah sebutkan perumpamaan itu:
وأَصَانَتْ مِنْهَا طَائِفَةٌ أُخْرَى إِنَّمَا هِيَ فِيعَانُ لَا تَمْسَكَ مَاءً وَلَا تُنْبِتُ كَلَّا
“Dan (air hujan) ada yang mengenai sebagian Bumi, sesungguhnya ia tanah l licin tidak dapat menahan air dan tidak dapat menumbuhkan tanaman."
Sifat sebagian anak didik ketiga ini adalah tidak mampu berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi diri sendiri maupun orang lain. Mereka tidak dapat menyerap informasi atau menampungnya. Tidak ada pengetahuan yang tersisa di pikiran mereka, tidak ada pengetahuan yang dapat menumbuhkan pengetahuan baru bagi dirinya, begitu pula orang lain yang tidak dapat mengambil pelajaran darinya. Mereka tidak mau mendengarkan ilmu, jika mendengarnya pun hanya sebatas mendengar biasa, tapi mereka tidak menjaga ilmu tersebut, tidak mengajarkan dan mengamalkannya. Karakter ketiga ini adalah karakter yang paling rendah dari ketiga karakter di atas, karena keberadaannya tidak berfungsi sebagaimana tugas manusia diciptakan, keberadaannya adalah kurang bermanfaat dalam berbagai arah. Nabi bersabda :
ومثل مَنْ لَمْ يَرْفَعُ بِذلِكَ رَأْسًا وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللَّهِ الَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ
"Dan perumpamaan orang tidak peduli (tidak mampu mengambil manfaat apa yang aku diutus dengannya) dan tidak menerima petunjuk Allah yang aku diutus dengannya."
Pihak ketiga ini tidak mau memanfaatkan bimbingan dan ilmu yang dibawa Nabi serta tidak memberi manfaat bagi orang lain bahkan tidak menerima bimbingan dan ilmu dari Nabi. Jika demikian halnya, maka orang dengan karakter ini termasuk orang yang kafir.
Menurut al-Thibiy (al-Asqalaniy: 1/177) ada dua karakter manusia yang tidak disebutkan pada hadis di atas yaitu: Pertama, orang yang mau mengambil manfaat ilmu pelajaran dari Nabi, tetapi tidak mau mengajarkannya kepada orang lain. Kedua, orang yang tidak mengambil manfaat untuk dirinya tetapi mengajarkan untuk orang lain. Al-Atsqalany dalam Fath al-Bariy menjawab, bahwa kelompok pertama yang disebutkan oleh al-Thibiy sudah masuk pada kelompok karakter pertama yang disebut dalam hadis di atas, karena pemanfaatannya secara umum sudah ada sekalipun berbeda tingkatannya. Demikian juga apa yang dihasilkan bumi, sebagian ada yang diambil manfaatnya oleh manusia dan sebagian lagi ada yang mengering. Adapun yang kedua, jika menyangkut amal wajib dan melalaikan sunah maka digolongkan kelompok kedua dalam hadis dan jika ia meninggalkan yang wajib ia termasuk fasik sebagaimana yang dikatakan Nabi tidak peduli ilmu yang datang dari Nabi SAW.
Hikmah dari hadis yang diuraikan di atas berimplikasi agar ilmu dipelajari, diamalkan, lalu diajarkan dengan sungguh-sungguh. Pada hakikat manusia yang diberi pelajaran ibarat tanah yang disirami air hujan. Tanahnya ada yang subur, ada yang tandus, dan ada pula yang licin dan ditumbuhi lumut. Hakikat tanah yang subur merupakan penerima ilmu yang paham ilmunya, lalu diamalkan, kemudian diajarkan kepada orang lain, tanah yang tandus ibarat penuntut ilmu yang memahami ilmu bukan berarti mengamalkannya, melainkan mengajarkannya kepada orang lain. Ada pula tanah yang licin dan ditumbuhi lumut diumpamakan dengan manusia yang tidak memahami ilmu, tidak mengamalkannya, serta tidak pula mengajarkannya.
Walhasil, Aku, Anda dan Kita semua adalah tanah. Tepatnya “Manusia Tanah".
#Ada beberapa doa yang bisa diamalkan untuk menuntut ilmu, di antaranya:
"Allâhumma-nfa'nî bimâ 'allamtanî wa 'allimnî mâ yanfa'unî wa zidnî 'ilman, alhamdu lillâhi alâ kulli ḫâlin wa a'ûdzu billâhi min ḫâli ahlin nâr(i)". Artinya: "Ya Allah, berilah manfaat dengan apa yang telah Engkau ajarkan kepadaku".
Ilmu tanah adalah ilmu yang mempelajari tanah sebagai sumber daya alam. Ilmu tanah mempelajari berbagai aspek terkait dengan kimia tanah, geologi, biologi tanah, fisika tanah, hingga perencanaan wilayah
Allahu a’lam bish-shawab.
Komentar
Posting Komentar